CALON KEPALA BIN YANG TIDAK TEPAT - BANG YOS - SUTIYOSOPemilihan tunggal calon Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) "meresahkan" masyarakat dan dunia intelijen di Indonesia. Mengingat sosok Sutiyoso adalah bukan calon pemimpin BIN yang tepat di masa mendatang. Beberapa catatan penting yang menjadi bahan pertimbangan ketidaktepatan Sutiyoso menjadi calon Kepala BIN, dari berbagai sumber :
Pertama, mengenai integritas, clear dan clean rekam jejak kemanusiaan. Sutiyoso menjadi salah satu orang yang disorot di saat peristiwa penyerangan markas PDI pada tanggal 27 Juli 1996. Pada saat itu, Sutiyoso menjabat sebagai Pangdam Jayakarta. Dalam bentrokan yang terjadi setelah adanya pengambilan paksa kantor DPP PDI dikabarkan 5 orang meninggal, 149 terluka dan 136 lainnya ditahan. Untuk kelurusan sejarah bangsa, BIN khususnya, kasus tersebut harus dapat dijelaskan secara objektif, transparan, dan berkejujuran ke publik.
Kedua, mengenai permasalahan profesionalitas dan independensinya. Saat ini Sutiyoso menjabat sebagai Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan pendukung Jokowi pada pemilihan presiden (pilpres) yang lalu. Jabatan ini dapat dipersepsikan publik sebagai skema dari bagi-bagi kue kekuasaan setelah suksesi Jokowi-JK dalam Pilpres yang lalu.
Ketiga, mengenai kemandirian BIN sebagai alat negara seperti TNI & Polri. Kemandirian mencerminkan BIN untuk kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan partai politik tertentu.
Keempat, mengenai usia Sutiyoso yang sudah 71 tahun. Sutiyoso "sudah" terlalu tua untuk menjalankan operasi strategis intelijen sehingga tidak memberi kesempatan kepada generasi muda yang penuh dengan gagasan-gagasan baru. Pencalonan Sutiyoso menjadi pengganti Marciano Norman sebagai Kepala BIN dinilai bukan tindakan pembeliaan, tapi justru penuaan. Komitmen regenerasi di lingkungan BIN menjadi tidak jelas dan rancu.
Kelima, mengenai pelanggaran dan ketidaktaatan terhadap hukum yang berlaku. Sutiyoso melanggar jadwal kampanye di Jawa Tengah pada saat pemilihan umum 2014 yang lalu. Kasusnya masih dibuka oleh Banwaslu. Seorang calon Kepala BIN seharusnya orang yang bersih, taat dan tidak cacat hukum. Sebagai alat negara yang sangat vital, Sutiyoso penuh ambisi menjadi presiden. Dia gagal dalam mencalonkan dirinya , namun kini bergerilya untuk menjadi Kepala BIN. Dengan kedudukan yang demikian penting, posisi presiden untuk si "tua" Sutiyoso jadi semakin terbuka. Terutama dengan jalan inkonstitusional sebagai mana sifatnya.
Keenam, mengenai kompetensi. Sutiyoso tidak pernah mengikuti pendidikan bidang intelijen strategis. Sutiyoso hanya mengikuti pendidikan bidang intelijen tempur, yang sudah kadaluarsa ilmunya sekarang, dan terlalu umum karena dipelajari oleh semua prajurit.
Ketujuh, mengenai ruang lingkup pemahaman. Sutiyoso tidak memiliki kapasitas untuk memahami geo-politik dan geo-ekonomi dalam wawasan ideologi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Ia terbilang sebagai taruna yang bodoh dan bernilai sosiometri rendah.
Kedelapan, mengenai ahklak dan karakter. Sutiyoso dikenal sebagai pribadi yang "flamboyan". Kegemarannya terhadap wanita-wanita muda bukan merupakan contoh yang baik bagi generasi muda. Sehingga tidak dapat menjadi figur "bapak" dan pengayom bagi BIN.
Sebelum nasi menjadi bubur. Sebaiknya bapak Joko Widodo (Jokowi) dan jajaran Dewan Perwakilan Rakyat memikirkan kembali dan mengurungkan niatnya untuk mengangkat Sutiyoso sebagai pemimpin BIN. Di dalam tubuh BIN banyak sekali anak-anak muda yang berkualitas dan berpotensi menjadi pemimpin muda yang bersih dan berwawasan besar untuk membawa kemajuan dunia intelijen di Indonesia. (BYG)